Jumat, 10 Juli 2015

PEREKEONOMIAN INDONESIA DI ZAMAN PA SOEHARTO



Pada maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru dan perhatian lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial, dan juga pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan system ekonomi terbuka sehingga dengan hasil yang baik membuat kepercayaan pihak barat terhadap prospek ekonomi Indonesia.
 Sebelum rencana pembangunan melalui Repelita dimulai, terlebih dahulu dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga menyusun Repelita secara bertahap dengan target yang jelas, IGGI juga membantu membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
 Dampak Repelita terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama pada tingkat makro, pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun yang relative tinggi. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada dekade 1970-an disebabkan oleh kemampuan kabinet yang dipimpin presiden dalam menyusun rencana, strategi dan kebijakan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak tahun 1973 atau 1974, juga pinjaman luar negeri dan peranan PMA terhadap proses pembangunan ekonomi Indonesia semakin besar.
 Akibat peningkatan pendapatan masyarakat, perubahan teknologi dan kebijakan Industrialisasi sejak 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami perubahan struktur dari Negara agrarsi ke Negara semi industri.
1.     REPELITA I
TUJUAN : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan yang menekankan pada bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam tahap berikutnya.
SASARAN : pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

KEBIJAKAN :
  1. Memberikan bibit unggul kepada petani dan melakukan beberapa eksperimen untuk mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.
  2. Memperbaiki infrastuktur yang digunakan oleh sektor pertanian seperti jalan raya, sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi tempat dijualnya hasil pertanian.
  3. Melakukan transmigrasi agar lahan yang berada di kalimantan, sulawesi, maluku dan papua dapat diolah agar menjadi lahan yang mengahasilkan bagi perekonomian.

SEJARAH SINGKAT REPELITA 1
REPELITA I ini merupakan lam­- piran dari Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di   depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 15 Agus­tus 1974.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XLI/MPRS/1968 dibentuklah Kabinet Pemba­-  ngunan dengan tugas pokok melaksanakan Panca Krida.
Dalam rangka melaksanakan krida ke-2 dari Panca Krida Kabinet Pembangunan, yaitu menyusun dan melaksanakan  Rencana Pembangunan Lima Tahun, maka Pemerintah menyu-­      sun suatu rencana pembangunan yang dituangkan dalam Ke­putusan Presiden No. 319 tahun 1968 dan yang disebut  Rencana Pembangunan Lima Tahun I atau Repelita I.
Pelaksanaan Repelita I dimulai pada 1 April 1969 berte­patan dengan dimulainya tahun anggaran baru1969/70,dan dan berakhir pada 31 Maret 1974 bertepatan dengan berakhirnya tahun anggaran 1973/74 Dengan demikian maka Repelita I meliputi tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun  ang­garan 1973/74.
Pelaksanaan Repelita I setiap tahunnya dituangkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga pelaksanaan tahun demi tahun termasuk penyediaan biayanya terlebih dahulu disetujui oleh Dewan   Perwakilan   Rakyat dalam bentuk Undang-undang.

2.    REPELITA II
TUJUAN : untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan  yang  kuat   untuk   tahap   pembangunan   berikutnya.
SASARAN : Pengembangan sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan kerja
KEBIJAKAN :
1.      Pemerataan kesempatan kerja,
2.      Pengembangan golongan ekonomi lemah dalam rangka pemerataan kesempatan berusaha,
3.      Pengembangan koperasi,
4.      Transmigrasi
5.      Investasi Pemerintah yang dilaksanakan melalui anggaran pembangunan negara.
6.      Menerapkan prinsip anggaran berimbang 
7.      Pengadaan program padat karya



SEJARAH SINGKAT REPELITA II
Laporan ini berisikan hasil pelaksanaan pembangunan selama     lima tahun periode Repelita II yang berlangsung dari tanggal 1 April 1974 sampai dengan tanggal 31 Maret 1979 dan merupakan lampiran dari Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1979.
Hasil pelaksanaan dari masing-masing empat tahun pertama Repelita II telah disampaikan sebagai lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus. Laporan kali ini tidak hanya melaporkan hasil pelaksanaan selama tahun terakhir 1978/79, tetapi juga mengenai keseluruhan hasil pelaksanaan selama lima tahun dari tahun anggaran 1974/75 sampai dengan tahun ang¬garan 1978/79.
Sesuai dengan GBHN maka tujuan Repelita II adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya. Di dalam mencapai tujuan tersebut Repelita II melanjutkan    usaha yang telah dijalankan selama Repelita I. Di samping itu Repelita II juga mulai menggarap secara lebih dalam masalah-masalah yang sejak semula disadari belum terpecahkan dalam Repelita I misalnya masalah perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan dan hasil-hasil pembangunan, masa¬lah pendidikan, kesehatan, koperasi, transmigrasi dan lain-lain.
Segala usaha yang dijalankan selama Repelita II ke arah tujuan seperti tersebut di atas tetap dilaksanakan secara bertahap, terpadu dan terus menerus dan selalu berlandaskan pada Trilogi Pembangunan yaitu pemerataan pembangunan menuju terwujudnya keadilan sosial, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan ini tetap diusahakan di dalam suatu keseimbangan yang serasi tanpa ada unsur yang dikorbankan. Usaha ini selama Repelita II ternyata bukanlah hal yang mudah oleh karena banyaknya tantangan-tantangan yang dihadapi baik yang bersumber dari luar negeri oleh karena berbagai krisis ekonomi dunia maupun yang bersumber dari dalam negeri seperti krisis keuangan Pertamina dan hambatan-hambatan dalam produksi pangan.


PRESTASI REPELITA I & II
  1. Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
  2. Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10 tahun
  3. Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen • Sumber penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari total penerimaan
  4. Inflasi rata-rata 17 persen
  5. Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran kondisi Boom minyak tahun 1973 dan 1978
  6. Kebijakan devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$


KESIMPULAN : Dari hasil yang di torehkan oleh program Repelita 1 dan 2 pemerintah dan masyarakat Indonesia patut bangga karena hasil yang di capai sudah lumayan memuaskan dibandingkan tahun sebelum diadakannya program ini.











3.    REPELITA III
Pada Repelita III prioritas utama pemerintahan dalam rencana pembangunan perekonomian indonesia terletak pada sektor pertanian dimana sektor ini ditujukan pada swasembada pangan. Selain itu juga dilakukan peningkatan pada sektor industri yang mengelola bahan baku menjadi barang jadi. Kebijakan pembangunan ini berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok dan penyediaan lapangan kerja . Kewenangan pengelolaan dana pembangunan disentralisasikan oleh departemen / LPND teknis melalui dokumen DIP dan desentralisasi oleh daerah melalui dokumen SPABP. Untuk mekanisme penyaluran dana pembangunan melalui sentarlisasi DIP dan anggaran didaerahkan (SPABP). adapun mekanisme perencanaan pembangunan yaitu TOP DOWN TRANSISI BOTTOM UP . Untuk arah kebijakan program pembangunan pada masa ini yaitu berarah ke pembangunan sektor .
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1979-1984 atau pada masa Repelita III pemerintah memfokuskan rencana pembangunan perekonomian pada sektor pertanian yang menuju swasembada pangan dan industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi. Di awali pertumbuhan ekonomi amat tinggi pada tahun 1980-1981 (1981 : 11%) dan kemudian merosot menjadi 2,2 persen pada tahun 1982 . dan untuk mennagulangi resesi ekonomi (kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun) dengan program deregulasi dan liberalisasi (1983-1988).
pada awal orde baru, strategi pembangunan di Indonesia lebih diarahkan pada tindakan pembersihan dan perbaikan kondisi ekonomi yang mendasar, terutama usaha untuk menekan laju inflasi yang sangat tinggi. Strategi-strategi tersebut kemudian dipertegas dengan ditetapkannya sasaran-sasaran dan titik berat setiap Repelita (REPELITA atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah orde baru di Indonesia) yakni:
Ø  Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984)
Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri.



Dalam Repelita III unsur pemerataan lebih ditekankan dengan tetap memperhatikan "logi" lainnya melalui kebijaksanaan delapan jalur pemerataan yang intinya adalah:
Ø  Pemerataan kebutuhan pokok rakyat , terutama pangan, sandang, dan perumahan.
Ø  Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan.
Ø  Pemerataan pembagian pendapatan.
Ø  Pemerataan perluasan kesempatan kerja.
Ø  Pemerataan usaha, khususnya bagi golongan ekonomi lemah.
Ø  Pemerataan kesempatan berpartisipasi, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
Ø  Pemerataan pembangunan antar daerah.
Ø  Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pada akhir tahun Repelita III perkembangan yang terjadi di lingkup Internasional adalah bahwa nilai dollar menguat, tingkat bunga riil di AS menguat, dana mengalir ke AS, likuiditas Internasional meningkat dan semakin beratnya beban utang negara-negara yang sedang erkembang.

4.    REPELITA IV
Pada periode Pelita IV ini, letak titik beratnya hampir sama dengan periode Pelita III. Hanya saja yang membedakan adalah kalau di Pelita III lebih menekankan pada industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sedangkan pada periode Pelita IV ini lebih ditekankan pada “meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun ringan. Selain itu, yang ditargetkan dalam periode Pelita IV ini adalah dilakukannya program KB dan rumah untuk keluarga.
Pada periode Pelita IV ini, swasembada pangan dalam sektor pertanian berhasil dicapai. Terbukti dengan berhasilnya Indonesia memproduksi beras 25,8 ton pada tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan di FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
Berikut adalah beberapa contoh kebijakan pemerintah untuk periode ini :
1.      Kebijakan INPRES no.5 tahun 1985 yaitu meningkatkan ekspor nonmigas dan pengurangan biaya tinggi dengan :
·         Pemberantasan pungutan liar (pungli)
·         Memberantas dan menghapus biaya-biaya siluman
·         Mempermudah prosedur kepabeanan
2.      Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM), yaitu mendorong sektor swasta di bidang ekspor dan penanam modal.
3.      Paket Devaluasi 1986, karena jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan kebijakan pinjaman luar negri.
4.      Paket Kebijakan 25 Oktober 1986, deregulasi bidang perdagagan, moneter, dan penanam modal dengan cara :
·         Penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
·         Proteksi produksi yang lebih efisien
·         Kebijakan penanam modal
5.      Paket Kebijakan 15 Januari 1987. peningkatan efisiensi,inovasi dan produktivitas beberapa sektor industri menengah keatas untuk meningkatkan ekspor nonmigas.
Program KB dan swasembada pangan berhasil namun cenderung hanya terdapat di pulau Jawa saja. Beban Hutang luar negeri membesar. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini. Bahkan pada periode ini harga minyak bumi turun sangat tajam. Masalah yang semakin nampak dan dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% pertahun selama Pelita IV. Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga merupakan hambatan bagi berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam periode yang amat sulit ini adalah pada tahun 1984 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras (tahun 1980 indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton, tahun 1981 mengimpor 0,54 juta ton, tahun 1982 mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983 mengimpor 0,78 juta ton). Dengan demikian devisa yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor beras dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Pedoman pembangunan pada periode ini adalah GBHN tahun 1983 yang pada intinya tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan GBHN sebelumnya.
Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi (Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak menentu pada tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu, sekali lagi pemerintah memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan devaluasi ini, jumlah hutang Indonesia semakin besar.
Untuk memperbaiki pola unit produksi yang membuat biaya ekonomi tinggi sehingga produk Indonesia kurang dapat bersaing di luar negeri, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri dan daya saing barang ekspor bukan migas melalui pemberian kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk serta pembentukkan kawasan berikat. Kemudian pada 30 Juni 1986 Sertifikat Ekspor dihapus. Kebijaksanaan 6 Mei ini kemudian disempurnakan dengan kebijaksanaan 25 Oktober 1986, sekaligus sebagai penunjang kebijaksanaan devaluasi 12 September 1986 yang intinya mendorong ekspor non-migas melalui penggantian sistem bukan tarif menjadi sistem tarif secara bertahap, juga penyempurnaan ketentuan bea masuk dan bea masuk tambahan. Sejalan dengan itu bea fiskal ke luar negeri dinaikkan dari Rp 150.000,- per orang menjadi Rp 250.000,- perorang. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1986 ekspor dalam bentuk barang mentah (rotan, jangat, dan kulit) dilarang.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya.

Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 per barel. Yang juga sedikit menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat melampaui ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5% per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.

5.    REPELITA V
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960.
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan  deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi ekonomi.
-          Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan  pesat selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).

A.   Masalah-masalah yang dihadapi
·         Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar negeri).
a.      IndikatorEkspansiEkonomi
·         Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
·         Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
b.      IndikatorekspansiMoneter
·         Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
·         Kredit perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
·         Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
·         Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)

B.   Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-          Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang PELITA V  (1989/1990 – 1993/1994)
·         Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
·         Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
·         Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
·         Moneter / perbankan
C.   Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
D.   Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).

Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).






6.    PELITA VI
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997.
 Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas ditengah jalan. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Pembagunan tidak merata.
 Tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi beban negara seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
  
Faktor Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, semua pihak tersentak melihat indikator ekonomi Indonesia. Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi telah memporak-porandakan “keberhasilan” pertumbuhan ekonomi Indonesia (rata-rata 7-8 %) selama tiga dekade menjadi minus 13 %. Ironisnya, dalam beberapa bulan kemudian, krisis justru semakin parah dan mengarah pada potret ekonomi Indonesia yang suram. Misalnya, selama dilanda krisis, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 80 juta, angka pengangguran meroket menjadi 20 juta jiwa, bahkan laju inflasi mendekati angka 100 % (hiperinflasi).

            Sikap mental Orde Baru yang tak lagi menghargai supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup memang tak sejalan dengan gerakan reformasi. Orde Baru bukan menyangkut orang per orang, melainkan sikap mental dan pola pikir yang mempengaruhi seseorang. Tanpa perubahan terhadap sikap mental itu, apa pun gerakan reformasi yang dilakukan takkan berhasil. Karena itu, mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi, lanjutnya, bisa berhasil walaupun dilakukan oleh mereka yang pernah menjadi pejabat Orde Baru. Asalkan, mereka sudah mengubur mentalitas Orde Baru serta mengubahnya menjadi sikap mental yang sesuai dengan gerakan reformasi. Sebaliknya, reformasi bisa gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang bukan mantan pejabat Orde Baru, tetapi mereka memiliki mentalitas Orde Baru. Mentalitas Orde Baru, muncul karena penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding rakyat. Akibatnya, aparat pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan menempatkan rakyat bagai peminta-minta pelayanan. Padahal, aparat sesungguhnya harus berperan melayani masyarakat.

            Bahkan, dengan porsi kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan misalnya, rakyat yang merasa haknya dirampas cuma bisa berunjuk rasa atau membangun tenda di atas tanahnya. Namun itu tidak akan bertahan lama. Rakyat pun pasti kalah, BPN tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya. Pelayanan kepada rakyat di bidang pertanahan kini semakin dipermudah. Orde Baru bagaikan seorang raksasa yang kini tengah menghadapi sakratul maut. Bahkan mungkin secara medis raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti mahluk hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa Orde Baru kini sedang mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak terkendali.

            Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh” Orde Baru yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru, 10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.

            Pendekatan yang dilakukan pemerintah serta ABRI dalam menangani berbagai kerusuhan, memang bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI dan pemerintah dianggap lemah. Banyak tokoh masyarakat yang menghujat pemerintah. Pemerintah saat ini selalu dalam posisi terpojok, kalah, dan selalu salah. Sebaliknya, kalangan humas pemerintah kurang mampu menghadapi pendapat masyarakat yang menyudutkan pemerintah.
            Keberhasilan pembangunan belumlah tentu sebuah keberhasilan. Bahkan, keberhasilan pembangunan-khususnya selama Orde Baru, bisa menjadi perusakan alam dan kerugian besar untuk masyarakat daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan pembangunan kurang memperhatikan analisis dampak sosial. Juga pengaruh banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem untuk kepentingan diri mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan masyarakat Orde Baru.

           

Suatu golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu memperlancar perubahan. Namun suatu golongan yang telah berada dalam situasi yang menyenangkan, menikmati banyak hak istimewa, kekuasaan dan duit, mereka akan bertahan sekuat mungkin. Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan status quo sangat kuat.

            Para pejabat Orde Baru selalu menyatakan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi politik dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan bangsa, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas hasil-hasil pembangunan. Namun pada dasawarsa 1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu menemukan fakta bahwa “pembangunan telah memakan korban” bagi warga masyarakat yang justru tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan nasib rakyat tak jarang diperhadapkan dengan tudingan “mengganggu jalannya pembangunan”. Jika mempersoalkannya ke tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya sebagai “menjelek-jelekkan bangsa” atau “menjual bangsa” ke pihak asing.

            Tujuan nasionalisme Orde Baru sangat jelas, yakni mempertahankan kepentingan KKN mereka dengan dua target.:
·         Kekuatan-kekuatan rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat tak bisa bersuara atas praktik KKN Orde Baru.

·         Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation).
Hasil yang diharapkan pemimpin Orde Baru yang mengobarkan nasionalisme sempit itu, ada dua hal. Pertama, mereka kebal dari hukum (impunity). Semua praktik KKN yang mereka jalankan, tidak dapat dihukum, sehingga kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable-tidak bisa dijangkau hukum. Kedua, mereka juga bebas bergentayangan melakukan penindasan hak asasi manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri.

Nasionalisme yang digembor-gemborkan oleh Orde Baru jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis hak asasi manusia dengan berbagai siasat dan intrik yang kotor. Dengan siasat dan intrik kotor itulah pengibar nasionalisme ini mengelabui kita semua, sehingga berbagai pelanggaran hak asasi manusia tidak diungkap dan tidak pula diperkarakan.

Otoritarianisme Orde Baru telah berulang kali menuduh para aktivis hak asasi manusia sebagai “agen asing” atau “agen Barat” sambil terus menimbulkan korban-korban atas bangsanya sendiri. Kita semua terus-menerus berusaha dibenamkan dalam perangkap kesadaran untuk melupakan kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas bangsanya sendiri.
Nasionalisme Orde Baru tak peduli jatuhnya korban dari bangsanya sendiri yang terhempas menemui ajalnya sejauh kepentingan KKN tidak digugat rakyat. Bahkan dengan praktik yang berkualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) – kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia – jika perlu dilakukannya. Untuk menutupinya pejabat Orde Baru dan pewarisnya sering menangkalnya dengan pernyataan angkuh: “jangan campuri urusan dalam negeri Indonesia”.

Pembangunan yang terjadi di zaman Orde Baru pada awalnya bisa membuat pendapatan per kapita naik empat kali, dari sekitar US$ 250 sampai sekitar US$ 1.000 per kapita setahun. Namun kemudian Orde Baru ternyata hanya menyuburkan korupsi dan memperbesar kesenjangan sosial. Di lain pihak, secara statistik juga bisa dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa diukur dengan konsumsi per kapita beras, gandum, BBM, listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan sebagainya, semua naik banyak. Kalau sekarang, lima tahun sesudah digempur krisis ekonomi yang dahsyat, tingkat konsumsi publik masih cukup dan sebagian terbesar masyarakat tidak lapar dan merana –dibandingkan dengan tahun 1966– maka semuanya ini adalah hasil perbekalan dari zaman Orde Baru.

Sedangkan penanaman modal asing sangat diperlukan karena divestasi perusahaan-perusahaan yang karena krisis dikuasai oleh negara, dan juga akibat dari skema debt-equity swap yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang besar beban utangnya kepada pihak luar negeri. Begitu juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik dipadukan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, tanpa fundamental ekonomi yang kuat terhadap pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan yang buruk (bad governance) tercermin dalam maraknya KKN bukan penyebab utama masuknya Indonesia ke dalam krisis, tetapi hal itu jelas amat memperburuk keadaan.

Setting kapitalisme global terhadap Indonesia bukanlah suartu hal yang baru dilakukan. Kenaikan rezim Soeharto dulu sedikit banyaknya mendapat dukungan dari negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan untuk menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya karena praktek korupsi cukup parah, dukungan yang tadinya diberikan lambat laun dicabut sampai akhirnya Soeharto terjungkal. Pada masa krisis ekonomi sebelum kejatuhannya, Soeharto tampak setengah hati menjalankan kebijakan Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena Soeharto tidak mau membubarkan anak-anak dan kroninya, renacana peminjaman dana itu ditarik kembali. Padahal sebagaian besar Bank-bank itu sudah dalam kedaan kacau.
Kelemahan Soeharto adalah terlalu membela anak-anak keluarga dan kroninya. Sehingga Bank Duniapun ditentangnya. Sehingga Saoeharto tidak dapat dukungan dan jatuh. Bahkan pengusaha dan militer sebagai penopang utama kekuasaannyapun pada akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah tidak melihat ada prospek lagi dalam kekuasaannya. Setelah Soeharto jatuh, Bank Dunia tidak serta merta dapat langsung melakukan kontrol terhadap penguasa baru di Indonesia.

Rezim pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu sudah memangalami banyak permasalahan tidak cepat-cepat membereskan masalahnya sehingga hanya mempersulit dan menambah beban bagi rakyat yang sudah lama merasa tidak puas. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan semakin di tambah dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi rakyat.

Rezim Orde Baru Soeharto akhirnya punya banyak cacatnya yang menjadi fatal karena tidak terkoreksi secara dini. Seandainya Pak Harto mau mundur pada pertengahan 1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya bisa dikendurkan, keadaan mungkin sekali tidak separah sekarang. Negara, dan para pemimpinnya, yang mampu membanting setir demikian adalah RRC, yang sistem politiknya masih dikendalikan Partai Komunis, akan tetapi ekonominya direformasikan berdasarkan sistem pasar terbuka yang cukup bebas. Proses otonomi daerah di RRC senantiasa bisa dikendalikan Beijing, karena semua gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan pemerintah pusat.

Pembangunan politik dan ekonomi untuk negara besar seperti Indonesia selalu memerlukan pemerintah yang kuat. Ini hanya ada selama zaman Soeharto, tetapi dengan pengorbanan demokrasi politik dan sosial. Satu-satunya masa pendek yang mungkin bisa kita pelajari kembali, kalau mencari percontohan, adalah masa 1950-1957. Pada masa itu, pengaruh asing (kebanyakan memang Belanda) masih kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional dan terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar. Kehidupan politik masih cukup demokratis, dan partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang pragmatik berpengaruh di bidang ekonomi, yakni Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena, Sumitro, Wilopo, dan sebagainya. Bung Karno masih ada dengan pengaruhnya yang karismatik dan menyatukan bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa utama. Tetapi, bibit-bibit perpecahan politik sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini. Indonesia memang tidak pernah bisa mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik politik maupun ekonomi.

Dalam membangun negara, kita harus membedakan antara state building dan nation building. Dalam tahap pertama, kita lebih berhasil dalam hal nation building, dan jasa Bung Karno tidak boleh dilupakan. Nation building selama 50 tahun dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana melting pot, seperti di Amerika, di mana suku-suku bangsa kaum imigran yang menyusun Amerika harus melebur diri menjadi prototipe bangsa Amerika yang Anglosax dan Protestan. Ikanya lebih penting daripada bhinnekanya. Setelah 50 tahun, model nation building ini harus kita tinggalkan. Kebinekaan harus lebih ditonjolkan, akan tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara, kalau bisa secara alami, atas dasar keyakinan nasional bahwa hidup sebagai warga bangsa besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara kecil. Tetapi, terutama elite politik di Jakarta dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah wacana-wacananya. Sampai sekarang, konsensus yang praktis masih dicari.
State building rupanya jauh lebih sulit daripada nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya lemah. “Indonesia is not a failed state but a weak state”. Pemerintah di Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi.

Lemahnya pemerintah dan negara dewasa ini oleh karena alat-alat penegak kekuasaan tidak berfungsi: tentara, polisi, jaksa, hakim, sistem peradilan, dan sebagainya. Moral serta perasaan tanggung jawabnya dirusak oleh KKN dan oleh karena negara tidak bisa menjamin gaji dan balas jasa yang wajar. Maka, krisis ekonomi memperparah efektivitas aparat pemerintah dan negara. Anggaran belanja pemerintah terlalu digerogoti pembayaran kembali utang dan bunga. Beban utang ini ikut menyebabkan weak state. Ini mempermasalahkan untung dan ruginya bantuan internasional, juga peran asing (dan yang “nonpribumi”) di perekonomian kita.

Perlukah kita akan mereka, atau kita harus menegakkan kedaulatan serta kemurnian “negara pribumi” kita? Secara logis dan historis empiris, jawabnya: Indonesia tidak bisa keluar dari krisis dan kelemahan tanpa bantuan dari luar dan tanpa membuka diri terhadap unsur-unur asing dan yang nonpribumi. Ada kalangan (politisi pribumi) yang secara bangga mengatakan, kita bisa berdiri sendiri berdasarkan kekayaan alam kita. Pengalaman zaman Bung Karno sudah memberi pelajaran. Tidak ada gunanya mengusir Belanda, Cina, asing Barat, dan menolak penanaman modal asing. Bung Karno pun membuat pengecualian: perusahaan minyak bumi asing (Caltex dan Stanvac) yang sudah ada tidak diusir karena hasil devisa diperlukannya.










DAFTAR PUSTAKA

Suroso,P.C.1997. Perekonomian Indonesia.Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka